Kamis, 02 Maret 2017

Suaminya Sangat Murka Lantaran Istrinya Tak Mau Melayaninya, Sesudah Melihat Ponsel Istrinya Ia Baru Sadar Ternyata...

Sesungguhnya tanggung jawab pasangan yang telah bangun rumah tangga sangat besar. Si lelaki akan menanggung tanggung jawab sebagai suami untuk menghidupi keluarga, kerja siang malam tidak ada tahu lelah. Ketika sang isteri akan mengurangi beban suami dengan membuat perlindungan anak, melayani suami dan ada pula yang bekerja untuk membantu keperluan keluarga.

Tetapi, dalam kesibukan keseharian kerapkali kita merasa pasangan kita belum tahu seutuhnya manfaat semasing. Sampai beberapa pertikaian kecil sering berjalan. Seperti cerita ini, seorang suami merasa ragu dengan isterinya pada saat tidak memperoleh layanan seperti biasa saat ia pulang kerja.


Saat hari mendekati siang, istri saya kirim pesan, ajukan pertanyaan saya sudah makan siang atau belum. Dan jawaban saya biasanya sama, “Ayah tidak makan, tadi sarapan kekenyangan”. Dari jawaban itu saya sebenarnya menginginkan dia akan masak di rumah, lantaran saya tidak makan siang tentunya bakal kelaparan saat pulang.

Malampun tiba, dan saya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan tadi saya sudah menginginkan makanan istri dapat menyembuhkan perasaan lelah setelah bekerja di kantor sepanjang hari. Namun apa yang saya peroleh di meja makan tidaklah sama seperti harapan, nasi masihlah tidak terhidang. Laukpun masihlah di dalam periuk. Tidak ada minuman hangat yang dapat menyegarkan tubuh.

Dulu ia tidak pernah seperti ini. Tetapi sekarang ini, hmm.., entahlah. Tak inginkan berkelahi, sayapun menyendok nasi sendiri, mengambil lauk dan sayuran yang sudah ia siapkan dari dapur dan buat teh panas.

Saat selesai makan, saya menemuinya tengah tiduran di sofa. Lalu saya memberinya teguran, “Bunda, Papa mau ajukan pertanyaan.. ”

“Ya Papa, ada apa? ”

“Seingat Papa tadi Bunda ajukan pertanyaan apakah Bunda sudah makan atau belum tengah hari tadi. Tetapi saat Ayah sampai di rumah, bunda tidak menyiapkan hidangan di meja makan untuk Papa. Papa sudah lelah saat pulang kerja, sepatutnya tolonglah sendokkan nasi, sediakan lauknya dan buatkan minum hangat untuk papa.. ”

Dia hanya tunduk. Berwajah tampak sedih. Dan beberapa waktu itu dengan mata yang berkaca-kaca ia mohon maaf, ia merasa bersalah karena tak kerjakan keharusan seseorang istri yang baik. Besok ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Malam itu, ia tidur lebih awal. Kepalanya terasa berat katanya. Sebentar saya masih tetap belum mengantuk. Iseng-iseng saya bermain-main di ponsel istri saya. Mendadak saya penasaran apa saja yang istri lakukan dengan ponselnya, apakah ia begitu ribet chatting sampai melupakan kewajibannya?

Saya lantas mengecek aplikasi chat kepunyaannya, tampak hanya ada satu perbincangan aktif, yakni dengan saya. Ya Allah, saya sudah salah menduganya. Hati sayapun tergerak untuk lihat kembali pembicaraan saya dan istri saya.

Satu persatu saya baca kembali pesan-pesan yang ia kirimkan. Mungkin saja Allah akan menyadarkan bila saya salah dalam ‘menghukum’ istri, Allah memperlihatkan kembali pesan istri saya sebelumnya siang itu. Berisi seperti ini :

“Ayah.. Anak-anak bandel nih, keduanya tidak mau mandi, bunda harus mengejar mereka ke sana-sini. Bila pernah kelak bunda masak buat ayah ya.. ”

“Ayah.. Lengan kanan bunda kok sakit sekali ya. Diangkat saja tidak bisa. Dari semalam seperti ini. Salah tidur mungkin saja.. ”

“Ayah.. Kepala bunda berdenyut. Mungkin saja lantaran kurang tidur”

“Ayah.. Kakak menangis lantaran digigit adik kakak, lalu kakak menarik rambut adik sampai ikut menangis. Haduh.. pusing deh.. ”

“Ayah.. selepas bersihkan dan menjemur baju nantinya bunda akan memasak untuk ayah.. ”

“Ayah.. apabila ayah gemari, sore ini tolong belikan susu kental ya. Bunda menginginkan buatin puding buat ayah.. ”

“Ayah.. InsyaAllah Bunda masakkan kari untuk Ayah pulang nantinya. Sekarang ini tengah nemenin anak-anak mewarna.. ” Allahurabbi…

Kenapa saya jadi buta seperti ini. Bukankah terlebih dulu itu ia sudah menceritakan kepadaku demikian ia ribet mengurus tempat tinggal dan anak-anak. Tetapi sesibuk-sibuknyapun, ia masih tetap bisa memerhatikanku di kantor bahkan juga memasak makanan kesukaanku.

“Ya Allah, maafkanlah saya dan rahmatilah dia.. ”

Dalam hangatnya air mata yang menetes di pipi, saya mencium dahinya dan kirim satu pesan : “Terima kasih sayang, maafkanlah Papa”